Ujang, begitulah nama pemuda bertubuh ceking itu.
Setiap hari, Ujang berdagang di terminal Leuwi Panjang Bandung. Ujang berdagang
makanan dan minuman ringan yang disimpan dalam sebuah kotak kecil. Kotak kecil
itu senantiasa menggantung di lehernya. Pemuda lulusan SMP itu sudah hampir
lima tahun menjadi pedagang asongan. Sejak lulus sekolah, Ujang langsung
mengadu nasib di kota. Orangtua Ujang tak sanggup membiayai sekolah hingga
Ujang urung melanjutkan ke SMU.
Ujang sangat ulet bekerja. Setiap hari bangun
subuh, setelah sholat berjamaah di masjid, Ujang langsung ke terminal untuk
berjualan. Walaupun sibuk bekerja, Ujang tidak pernah meninggalkan sholat.
Ujang senantiasa mengingat pesan orangtuanya.
"Jangan lupa sholat, Jang, sesibuk apapun
kamu," begitu pesan emak dan abah.
Berkat kegigihannya berdagang, Ujang bisa
membantu menyekolahkan kedua adiknya. Bahkan Ujang pun bisa menabung. Ujang pun
setiap bulan mengirim uang untuk orangtuanya. Kedua orangtua Ujang memanfaatkan
uang kiriman anaknya dengan baik, dengan cara dibelikan anak kambing. Keduanya
merawat kambing dengan telaten, sehingga kemudian jumlahnya terus bertambah.
Setiap Idul Adha, keluarga Ujang bisa berkurban. Sebagian lagi kambingnya
dijual dan uangnya dibelikan sawah. Tentu saja Ujang sangat senang, bisa
membelikan sawah untuk orangtuanya dari hasil keringatnya sendiri.
Pada suatu hari, Ujang berkenalan dengan seorang
pengamen, sebut saja namanya Randi. Ujang terpesona dengan suara Randi yang
merdu. Menurut Ujang, suara Randi sebelas duabelas dengan Ariel :). Semakin
lama, Ujang semakin kagum dengan Randi. Hati kecil Ujang berkata, "Suatu
hari nanti, aku harus keren seperti Randi."
Ujang mulai tertarik bermain gitar. Dengan senang
hati Randi melatih Ujang main gitar dan bernyanyi. Randi memuji suara Ujang
yang lumayan merdu. Tentu saja Ujang girang. Randi pun akhirnya mengajak Ujang
untuk beralih profesi. Kata Randi menjadi pengamen jauh lebih keren daripada
menjadi pedagang asongan. Hati Ujang membuncah, dengan senang hati
dicampakkannya kotak kecil yang bertahun-tahun setia menemaninya. Ujang pun
kini beralih profesi menjadi pengamen.
ilustrasi
sumber
foto: menu-menulis.blogspot
Ujang mengamen di dalam bis kota. Setiap nyanyi
Ujang membayangkan dirinya sedang show di atas panggung besar dan ditonton
ribuan orang. Hati Ujang bertambah senang, karena penghasilannya sebagai
pengamen jauh lebih besar daripada pedagang asongan. Hati kecilnya menyesal,
mengapa tidak dari dulu menjadi pengamen, mungkin kambing dan sawahnya di
kampung jauh lebih banyak.
Perhitungan Ujang ternyata meleset. Walaupun
penghasilan sebagai pengamen jauh lebih banyak, tapi Ujang tidak bisa menabung
lagi seperti dulu. Ketika menjadi pedagang asongan setiap hari Ujang masak
untuk makan sehari-hari, kini jelas tidak. Masa pengamen masak, gengsi dong.
Ujang pun makan di warteg dengan harga yang jauh lebih mahal daripada masak
sendiri. Pergaulan pengamen berbeda dengan dunia Ujang sebelumnya. Kini, Ujang
mulai merokok, menyesuaikan diri dengan teman-temannya. Lambat laun Ujang pun
mulai akrab dengan minuman keras. Hidupnya semakin tidak teratur, uan hasil
ngamen pun ludes tak bersisa. Ujang sudah tidak lagi bisa mengirimin uang untuk
orangtua dan adik-adiknya. Kini Ujang menjelma menjadi sosok yang berbeda.
Rambut gondrong, celana belel, muka lucek. Wajah bersihnya karena siraman air
wudlu hanya tinggal kenangan. Entah sudah berapa lama Ujang tidak lagi bersujud
di atas hamparan sajadah.
Artikel disarankan :